BIRU.....
ada yang bilang lambang kesedihan,, penuh air mata,, kegundahan,, kegalauan,, serta duka cita...
Tapi, , , ,
BIRU adalah indah,, BIRU adalah istimewa,, BIRU adalah kebahagiaan abadi yang tersembunyi...


Kau Tetap Abadi

                Di senja hari 1 Oktober 2008, takbir berkumandang, bersahut-sahutan antara satu masjid dengan masjid lain, antara musholla satu dangan musholla lain. Kemeriahan amat terasa untuk menyambut hari kemenangan tahun ini. Canda tawa anak kecil bermain kembang api menghiasi halaman tiap rumah. Terdengar bunyi petasan yang bersusulan dari satu tempat ke tempat lain.
                Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat semua sibuk keluar rumah, jalan-jalan keliling kota bertakbiran bersama, aku justru sibuk mempersiapkan pernak-pernik untuk menghias rumah. Adikku bertakbiran di musholla bersama teman dan para tetangga. Bapak takbiran di rumah, dan ibu sibuk memasak.
                Ketika sang surya terbit, kami bersiap-siap untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Saat di musholla, aku tidak berjumpa dengan Ida, sahabat karibku sejak kami kecil. Semalam dia juga tidak datang ke rumah.
                Ketika malam tiba, dia bersama keluarganya silaturrahin ke rumahku.
“Mbak Yan?”

“Hai, Ida. Ya Allah, mohon maaf lahir batin, ya?”

“Sama-sama, Mbak.”
Seketika kami berpelukan sangat erat, seolah kami sudah lama tak jumpa dan tak akan berjumpa lagi. Kuajak dia ke kamar dan kami membicarakan banyak hal. Aku curahkan semua isi hatiku, begitu pun halnya dengan dia. Cukup lama kami berbincang.
“Da, ayo kita pulang!” terdengar suara Mbak Utami.
“Lho, jangan pulang dulu, dong, Bu!” Ida merengek.
“Iya, kok pulang, sih?” aku menambahi.
“Inikan sudah malam. Besok bertemu lagi masih bisa, kan?” Ibunya beralasan. Akhirnya, mereka pulang. Aku merasakan perasaan yang aneh dalam hatiku, tapi takku hiraukan.
                Beberapa hari kemudian, aku tidak bertemu dengannya karena sibuk dengan urusan masing-masing.
“Yan, Ida tadi malam di bawa kerumah sakit,” kata ibuku.
“Hah, apa?! Astaghfirullohal’adzim”, aku sangat terkejut. “Rumah sakit mana??”
“rumah sakit Amelia.  Badannya panas sampai kejang-kejang”.
                Karena tempatnya yang jauh dan sekolah sudah masuk, aku tidak bisa sering menjenguknya. Saat pulang sekolah, aku mengajak teman sebangkuku, Arini,untuk menjrnguk Ida. Kukenalkan dia kepada Ida. Dan dengan asyiknya kami bertiga bercanda tawa. Setelah cukup lama, kamipun pulang.
                Sehari kemudian , aku mendengar berita yang tak mengenakkan.
“Ida semalam merengek”, kata Ibu.
“Kenapa?” aku penasaran.
“Dia ingin pulang karena tidak krasan dan bilang pada ibunya bahwa di sana seperti di neraka”.
“Ya Allah, sampai segitunya?”
“Iya, akhirnya keluarganya memutuskan untuk membawanya pulang. Dia berjanji kalau di bawa pulang akan sebuh”.
                Saat di rumah, kondisi kesehatannya naik turun. Padahal , dia juga sudah di pijat syaraf. Aku dan teman-taman menjenguknya. Tapi, kami mengobrol seperti hari-hari sebelumnya. Aku sangat sedih, begitu juga ibu dan keluarganya.
“Harus gimana lagi, Yan? Berobat cara apapun sudah dilakukan, tapi kenapa tetap seperti ini?,” Keluh sedih Mbak Utami setiap aku datang. Semakin hari kesehatannya menurun.
“Nduk, cepat sembuh! Apa yang kau inginkan akan Mbah belikan. Kamu mau apa? Kalung, atau bahkan motor? Kamu ingin jaan-jalan sama Mbak Yana, kan? Dah, nanti bensinnya Mbah yang belikan. Tapi, kau harus sembuh!.”
                Semua tetangga dan kerabat yang ada tak kuasa menahan sedih. Ibunya sampai pingsan. Bicaranya semakin ngelantur. Dia berteriak merintih kesakitan. Setelah dibacakan surat Yasin, dia bisa lebih tenang.
                Tak lama kemudian, dia berteriak merintih kesakitan lagi,
bahkan sampai semalam suntuk. Akhirnya, pukul 04.00 WIB dini hari, dia dibawa ke RSUD Pare. Sejak saat itu, dia ada namun seperti tak ada.
                Karena RSUD Pare searah dengan sekolahku, maka setiap pulang sekolah aku sempatkan untuk menjenguknya. Ibunya hanya bisa diam, menangis, dan hati kecilnya tak henti berdoa. Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa beliau masih memiliki harapan yang besar akan kesembuhan anaknya.
                Setelah satu minggu di rumah sakit, dokter baru bilang bahwa Ida mengidap radang otak. Mendengar kabar tersebut, aku hanya terdian dan tak tahu harus berbuat apa. Hatiku berdebar-debar.
“Wah, ini! Kalau yang diserang sudah otak kecil harapannya,” batinku. Ibuku pun juga  berkata demikian.
                Tiga hari kemudian, dia dipindahkan ke ruang isolasi. Aku semakin takut. Matanya tetap tak mau terbuka. Mulutnya juga tak dibuka agar bisa berbicara denganku.
                Hari demi hari ia jalani di atas ranjang, di sudut ruang isolasi. Selasa siang di akhir Oktober 2008, aku menungguinya. Kupegang erat tangannya. Namun, kedua matanya tetap tertutup. Air matanya menetes. Aku cium pipinya.
                Hari semakin sore. Aku masih ingin menungguinya, namun harus segera pulang.
                Setelah sholat maghrib, aku pergi ke rumah saudara untuk mengembalikan buku. Belum lama di sana, tiba-tiba handphone saudaraku berdering.
“Yan, ini tadi bapakmu telfon, katanya Ida meninggal.”
“Innalillahi wainna ilaihi rooji`un. Masak, sih?! Gak mungkin!!.” Aku sangat terkejut, bingung, dan takut. Aku tidak percaya dengan berita itu.
“Lebih baik kamu cepat pulang.”
“Ya sudah, saya pulang dulu. Assalamu`laikum.”
“Wa`alakumussalam..”
                Dalam perjalanan, mataku berkaca-kaca. Jantungku berdebar-debar. Perasaan sedih dan was-was menyelimutiku sepanjang jalan desa.
                Setibanya di rumah, aku semakin tidak percaya. Kulihat dengan jelas di rumahnya banyak orang. Meja-kursi dikeluarkan ke teras dan lantai rumah disapu. Tiba-tiba, kebingunganku dipecahkan oleh suara bapak.
“Ida meninggal, Yan.”
“Kapan?”
“Baru saja. Tadi waktu maghrib.”
Aku tak kuasa menahan air mata. Seketika aku menangis histeris.
“Sudahlah, jangan menangis seperti itu! Yang sudah pergi biarkan pergi. Doakan saja dia! Hidup mati manusia ada di tangan Allah. Cepat sana kabari teman-temanmu!”
                Sambil menagis tersedu, kukabari teman-teman. Kemudian kami beramai-ramai ke rumahnya untuk penghormatan terakhir. Ibu, tante, seta neneknya pingsan. Kami melihat jenazahnya. Kubelai kening dan rambutnya, serta kubacakan doa untuknya. aku juga melihat prosesi pemandiannya.
                Aku sangat sedih dan kehilangan. Aku baru sadar bahwa Ida adalah sahabat terbaikku, setelah dia pergi untuk selamanya, menghadap Allah Yang Maha Memiliki.
                Lebih dari sepuluh tahun aku bersamanya. Dia sahabatku sejak kami belum menginjak bangku sekolah. Bermain, makan, dan mandi pun kami bersama. Walau terkadang ada konflik atau kesalahpahaman, kami tetap kompak, selalu bersama dan saling menyayangi.
                Terlalu cepat dia meninggalkan aku. Ida, yang tak pernah aku minta untuk jadi sahabatku, justru menjadi sahabat terbaikku. Sedangkan persahabatan yang kujalani  dan kusepakati dengan orang lain, justru terpecah. Aku rindu sosok sahabat seperti Ida. Tapi, ini memang sudah menjadi takdir Allah Al Kholiq dan Al Mudabbir. Walau dia telah pergi, akan selalu ada, hidup, dan abadi di dalam hati sebagai sahabat terbaikku.

Oleh :
Binti Muroyyanatul `A.

Mood Comel


Bubble

Note


Mood


Tik Tok

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, silakan bergabung dengan Yana_Yang_Lain_(Nazya)..!! Meskipun hanya corat-coret yang hanya tulisan, semoga saja memberikan manfaat bagi Sampeyan semua, dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta di tempat manapun. aamiin..!! matur suwun.. :)