Di
senja hari 1 Oktober 2008, takbir berkumandang, bersahut-sahutan antara satu
masjid dengan masjid lain, antara musholla satu dangan musholla lain.
Kemeriahan amat terasa untuk menyambut hari kemenangan tahun ini. Canda tawa
anak kecil bermain kembang api menghiasi halaman tiap rumah. Terdengar bunyi
petasan yang bersusulan dari satu tempat ke tempat lain.
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, saat semua sibuk keluar rumah, jalan-jalan keliling
kota bertakbiran bersama, aku justru sibuk mempersiapkan pernak-pernik untuk
menghias rumah. Adikku bertakbiran di musholla bersama teman dan para tetangga.
Bapak takbiran di rumah, dan ibu sibuk memasak.
Ketika
sang surya terbit, kami bersiap-siap untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Saat
di musholla, aku tidak berjumpa dengan Ida, sahabat karibku sejak kami kecil. Semalam
dia juga tidak datang ke rumah.
Ketika
malam tiba, dia bersama keluarganya silaturrahin ke rumahku.
Seketika kami berpelukan sangat erat, seolah kami sudah lama
tak jumpa dan tak akan berjumpa lagi. Kuajak dia ke kamar dan kami membicarakan
banyak hal. Aku curahkan semua isi hatiku, begitu pun halnya dengan dia. Cukup
lama kami berbincang.
“Da, ayo kita pulang!” terdengar suara Mbak Utami.
“Lho, jangan pulang dulu, dong, Bu!” Ida merengek.
“Iya, kok pulang, sih?” aku menambahi.
“Inikan sudah malam. Besok bertemu lagi masih bisa, kan?”
Ibunya beralasan. Akhirnya, mereka pulang. Aku merasakan perasaan yang aneh
dalam hatiku, tapi takku hiraukan.
Beberapa
hari kemudian, aku tidak bertemu dengannya karena sibuk dengan urusan
masing-masing.
“Yan, Ida tadi malam di bawa kerumah sakit,” kata ibuku.
“Hah, apa?! Astaghfirullohal’adzim”, aku sangat terkejut.
“Rumah sakit mana??”
“rumah sakit Amelia.
Badannya panas sampai kejang-kejang”.
Karena
tempatnya yang jauh dan sekolah sudah masuk, aku tidak bisa sering
menjenguknya. Saat pulang sekolah, aku mengajak teman sebangkuku, Arini,untuk
menjrnguk Ida. Kukenalkan dia kepada Ida. Dan dengan asyiknya kami bertiga
bercanda tawa. Setelah cukup lama, kamipun pulang.
Sehari
kemudian , aku mendengar berita yang tak mengenakkan.
“Ida semalam merengek”, kata Ibu.
“Kenapa?” aku penasaran.
“Dia ingin pulang karena tidak krasan dan bilang pada ibunya
bahwa di sana seperti di neraka”.
“Ya Allah, sampai segitunya?”
“Iya, akhirnya keluarganya memutuskan untuk membawanya
pulang. Dia berjanji kalau di bawa pulang akan sebuh”.
Saat di
rumah, kondisi kesehatannya naik turun. Padahal , dia juga sudah di pijat
syaraf. Aku dan teman-taman menjenguknya. Tapi, kami mengobrol seperti
hari-hari sebelumnya. Aku sangat sedih, begitu juga ibu dan keluarganya.
“Harus gimana lagi, Yan? Berobat cara apapun sudah
dilakukan, tapi kenapa tetap seperti ini?,” Keluh sedih Mbak Utami setiap aku
datang. Semakin hari kesehatannya menurun.
“Nduk, cepat sembuh! Apa yang kau inginkan akan Mbah
belikan. Kamu mau apa? Kalung, atau bahkan motor? Kamu ingin jaan-jalan sama
Mbak Yana, kan? Dah, nanti bensinnya Mbah yang belikan. Tapi, kau harus
sembuh!.”
Semua
tetangga dan kerabat yang ada tak kuasa menahan sedih. Ibunya sampai pingsan.
Bicaranya semakin ngelantur. Dia berteriak merintih kesakitan. Setelah
dibacakan surat Yasin, dia bisa lebih tenang.
Tak
lama kemudian, dia berteriak merintih kesakitan lagi,
bahkan sampai semalam
suntuk. Akhirnya, pukul 04.00 WIB dini hari, dia dibawa ke RSUD Pare. Sejak
saat itu, dia ada namun seperti tak ada.
Karena
RSUD Pare searah dengan sekolahku, maka setiap pulang sekolah aku sempatkan
untuk menjenguknya. Ibunya hanya bisa diam, menangis, dan hati kecilnya tak
henti berdoa. Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa beliau masih memiliki
harapan yang besar akan kesembuhan anaknya.
Setelah
satu minggu di rumah sakit, dokter baru bilang bahwa Ida mengidap radang otak.
Mendengar kabar tersebut, aku hanya terdian dan tak tahu harus berbuat apa.
Hatiku berdebar-debar.
“Wah, ini! Kalau yang diserang sudah otak kecil harapannya,”
batinku. Ibuku pun juga berkata
demikian.
Tiga hari
kemudian, dia dipindahkan ke ruang isolasi. Aku semakin takut. Matanya tetap
tak mau terbuka. Mulutnya juga tak dibuka agar bisa berbicara denganku.
Hari
demi hari ia jalani di atas ranjang, di sudut ruang isolasi. Selasa siang di
akhir Oktober 2008, aku menungguinya. Kupegang erat tangannya. Namun, kedua
matanya tetap tertutup. Air matanya menetes. Aku cium pipinya.
Hari
semakin sore. Aku masih ingin menungguinya, namun harus segera pulang.
Setelah
sholat maghrib, aku pergi ke rumah saudara untuk mengembalikan buku. Belum lama
di sana, tiba-tiba handphone saudaraku berdering.
“Yan, ini tadi bapakmu telfon, katanya Ida meninggal.”
“Innalillahi wainna ilaihi rooji`un. Masak, sih?! Gak
mungkin!!.” Aku sangat terkejut, bingung, dan takut. Aku tidak percaya dengan
berita itu.
“Lebih baik kamu cepat pulang.”
“Ya sudah, saya pulang dulu. Assalamu`laikum.”
“Wa`alakumussalam..”
Dalam
perjalanan, mataku berkaca-kaca. Jantungku berdebar-debar. Perasaan sedih dan
was-was menyelimutiku sepanjang jalan desa.
Setibanya
di rumah, aku semakin tidak percaya. Kulihat dengan jelas di rumahnya banyak
orang. Meja-kursi dikeluarkan ke teras dan lantai rumah disapu. Tiba-tiba,
kebingunganku dipecahkan oleh suara bapak.
“Ida meninggal, Yan.”
“Kapan?”
“Baru saja. Tadi waktu maghrib.”
Aku tak kuasa menahan air mata. Seketika aku menangis
histeris.
“Sudahlah, jangan menangis seperti itu! Yang sudah pergi
biarkan pergi. Doakan saja dia! Hidup mati manusia ada di tangan Allah. Cepat
sana kabari teman-temanmu!”
Sambil
menagis tersedu, kukabari teman-teman. Kemudian kami beramai-ramai ke rumahnya
untuk penghormatan terakhir. Ibu, tante, seta neneknya pingsan. Kami melihat
jenazahnya. Kubelai kening dan rambutnya, serta kubacakan doa untuknya. aku
juga melihat prosesi pemandiannya.
Aku
sangat sedih dan kehilangan. Aku baru sadar bahwa Ida adalah sahabat terbaikku,
setelah dia pergi untuk selamanya, menghadap Allah Yang Maha Memiliki.
Lebih
dari sepuluh tahun aku bersamanya. Dia sahabatku sejak kami belum menginjak
bangku sekolah. Bermain, makan, dan mandi pun kami bersama. Walau terkadang ada
konflik atau kesalahpahaman, kami tetap kompak, selalu bersama dan saling
menyayangi.
Terlalu
cepat dia meninggalkan aku. Ida, yang tak pernah aku minta untuk jadi
sahabatku, justru menjadi sahabat terbaikku. Sedangkan persahabatan yang
kujalani dan kusepakati dengan orang
lain, justru terpecah. Aku rindu sosok sahabat seperti Ida. Tapi, ini memang
sudah menjadi takdir Allah Al Kholiq dan Al Mudabbir. Walau dia telah pergi,
akan selalu ada, hidup, dan abadi di dalam hati sebagai sahabat terbaikku.
Oleh :
Binti Muroyyanatul
`A.