JERITAN HATI TEGUH
Anak yang masih
kecil bagaikan kertas yang masih putih. Mau diisi tulisan dan gambar seperti
apa, itu tergantung bagaimana orang tua dan lingkungannya. Setiap orang tua
tentunya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Mereka ingin masa depan
anak-anaknya cerah. Tidak terkecuali keluarga Pak Saimo.
Pak saimo
memiliki dua orang anak. Keduanya laki-laki. Anak sulungnya bernama Karim,
sedang duduk di bangku SMP, dan anak bungsunya bernama Teguh, yang masih belum
sekolah. Keluarga Pak Saimo tinggal bersama mertua dan adik iparnya.
Ketika musim
tahun ajaran baru, Bu Saimo sibuk menyiapkan segala kebutuhan sekolah untuk
anak bungsunya, yang baru akan memasuki Taman Kanak-kanak. Teguh terlihat
begitu senang.
Pada hari
pertama masuk sekolah, seperti anak-anak yang lainnya, ia masih diantar ibunya.
Bu Saimo juga bersemangat mengantarkan anak bungsunya menuju dunianya yang
baru. Namun, setelah beberapa hari, Bu Saimo tidak mau mengantarkan anak
bungsunya pergi ke sekolah. Selain karena jarak sekolah dengan rumah cukup
dekat, Bu Saimo harus melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Bu Saimo bersama
ibunya membuka warung makan kecil-kecilan untuk menyambung hidup. Sedangkan Pak
Saimo bekerja sebagai tukang, yang setiap hari jarang sekali ada di rumah. Oleh
karena itu, mau tidak mau Teguh harus berangkat sekolah seorang diri.
Ketika di
sekolah, terkadang semangat Teguh kendor. Ia tidak mau menulis, mewarna, dan
sebagainya. Untungnya ada wali murid siswa lain yang peduli dengannya. Saat di
rumah orang tuanya tidak pernah membimbingnya untuk belajar dan mengulang
pelajaran apa yang tadi pagi telah dipelajari anaknya di sekolah. Teguh selalu
dibiarkan bermain-main saja.
Suatu hari,
sesuatu hal yang tidak diduga dan tidak diinginkan terjadi.
Braaaakkkk……..!!!
Suara benda
yang saling berbenturan terdengar. Disusul kemudian suara tangisan Teguh.
Pamannya yang mengetahui hal itu segera menolongnya. Ternyata, Teguh yang
sedang asyik bermain-main dengan sepeda sederhananya tertabrak sepeda motor
ketika akan berbelok. Maklum saja, Teguh yang masih berusia lima tahun belum
memiliki haluan yang baik kalau harus berkendara di jalan. Untungnya, ia tidak
terluka parah. Hanya lecet sedikit di beberapa bagian tubuhnya.
Sejak saat itu,
Teguh menjadi anak yang cengeng, mudah takut, dan selalu minta ditemani, bahkan
minta gendong. Setiap hari kerjaannya hanya menangis dan menangis. Bagaimana
tidak? Seorang anak kecil tertabrak sepeda motor. Hal itu membuatnya trauma dan
batinnya tertekan.
Namun begitu, Bu Saimo
justru selalu memarahi Teguh, dan bahkan memukuli anak bungsunya itu. Teguh
juga tidak mau lagi berangkat sekolah sendirian. Ia jadi ingin diantar dan
ditunggui ibunya. Bukannya menuruti permintaan anaknya, tapi Bu Saimo justru
tambah memarahi dan memukuli anaknya. Anaknya yang masih lugu dan polos itu
hanya bisa menangis. Bu Saimo lebih mementingkan melakukan pekerjaannya, yaitu
memasak nasi, sayur, dan beberapa jajanan untuk warungnya.
“Terserah kamu mau sekolah apa tidak. Kalau mau berangkat saja
sendiri. Kalau tidak mau ya tidak usah sekolah saja sekalian.”
Sungguh
memprihatinkan keadaan Teguh. Apalagi, kelurga itu setiap hari dikejar-kejar
oleh beberapa dept collector. Jadi,
apapun yang terjadi, pasti Bu Saimo lebih mementingkan warungnya agar tetap
bisa membayar hutang-hutangnya.
Teguh sangat
menderita dan tertekan batinnya. Ia ingin mendapat perhatian dari ibunya, namun
ibunya justru tidak peduli. Padahal ia masih trauma karena kecelakaan yang ia
alami.
“Lebih baik kamu antar saja dulu anakmu ke sekolah,” kata
seorang tetangga yang juga memiliki anak yang sebaya dengan Teguh.
“Ah, tidak mau. Aku sibuk. Nanti kalau diantar, ia malah jadi
anak manja. Aku tidak bisa bekerja lagi donk?,” jawab Bu Saimo dengan teganya.
“Tapi lama-lama kalau diberitahu, pasti dia akan mengerti dan
mau berangkat sendiri. Saat ini jiwanya masih tertekan,” Saran tetangga tadi.
“Ah, biarkan saja. Aku tidak peduli,” Jawab Bu Saimo sinis.
Akhirnya, Teguh
hanya menjalani hari-harinya dengan kesedihan. Ia tidak salah apa-apa, tapi
ibunya saja yang tidak mau mengerti. Sungguh sangat kasihan. Sebagai anak
kecil, ia sangat membutuhkan perhatian lebih dari orang tuanya. Namun
sepertinya keadaan berkata lain. Ia harus menerima sikap ibunya yang tidak
peduli.
“Ibu, aku sangat ingin mendapat perhatian lebih darimu. Tapi
mengapa engkau acuh tak acuh padaku? Saat ini perasaanku sedang kacau karena
peristiwa itu. Aku rindu pelukanmu. Aku rindu belaian tanganmu. Beruntung
sekali, ya, anak-anak yang benar-benar disayang ibunya? Aku hanya berharap, kau
bisa mendengar jeritan hatiku. Aku berdoa, semoga suatu saat nanti, Tuhan akan
merubah semuanya. Aku rindu padamu, ibu…,” ujar hati kecil seorang Teguh, anak
yang baru berusia lima tahun, yang sedang kehilangan kasih sayang dari ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar